Jumat, 26 Desember 2014

Kapan Waktu yang Tepat untuk Pergi




Teruntuk kamu yang sedang bimbang dalam menentukan langkah, ketahuilah, apa pun pilihanmu, perjalananmu memiliki akhir.
Bertarung melawan pikiran sendiri memang melelahkan, apalagi bila selalu tertuju pada seseorang. Bagaimana tidak? Memang ada hal lain yang membuat lehermu tercekik oleh isi kepala sendiri selain karena prasangka? Yang membuatmu selalu menerka-nerka esok hari akan seperti apa sehingga banyak pikiran tidak perlu yang muncul dan membuatmu semakin lelah.
             
Memenuhi ego kadang terasa seperti kebutuhan. Salah satu ego terbesar adalah mencintai seseorang. Apalagi yang bisa kamu perbuat demi hatimu yang mencintai seseorang? Berjuang mendapatkannya atau hanya duduk diam menunggu keajaiban semoga ia tau perasaanmu dan membalasnya?
Sebentar, mari membahas kemungkinan terburuk di antara banyaknya kemungkinan yang ada. Bagaimana bila perjuanganmu gagal? Apakah kamu bersikukuh untuk terus lanjut atau justru memilih pergi? Permasalahan berikutnya adalah, ketika kamu memilih untuk melanjutkan, apakah dia layak untuk diperjuangkan? Apakah ada jaminan perjuanganmu tak sia-sia?
           
Mencintai seseorang tidaklah pernah mudah, tanpa pamrih bukan berarti tanpa perih. Kadang kamu memaksakan diri untuk berkali-kali berhenti menyerah dalam risiko sakit yang ditanggung sendiri. Cinta memang sebuah anugerah, tetapi tak jarang juga menjadi musibah bila tidak terbalas. Yang pada akhirnya membentuk kamu menjadi masokis yang rela bertahan dalam luka hanya dengan alasan cinta.
 “Nggak apa-apa, yang penting aku sayang dia meski segimana pun sakitnya.”
Kamu jadi memiliki kebiasaan buruk menipu diri dan mengabaikan rasa sakit yang menghantam dua kali lipat setiap kali kalimat itu terlintas di dalam benak. Segalanya sudah kamu lakukan hanya demi mendapatkan perhatiannya, bahkan hanya untuk dianggap ada. Bertaruh pada waktu yang penuh rahasia dan melempar dadu harapan yang berisi doa tertinggi; semoga dia menjadi milikmu.
 Tapi mau sampai kapan? Keadaan paling sulit adalah membahagiakan seseorang yang tak ingin dibahagiakan.

 Kamu tau apa kata lain dari berusaha mencintai orang yang tidak mencintaimu? Ya… Buang-buang waktu, bodoh. Waktu adalah kado terbaik yang disediakan Tuhan, yang bisa diberikan untuk seseorang. Dengan memberikan waktumu, berarti kamu memberikan sesuatu yang tak dapat diulang kembali. Bukankah sebuah hal yang sia-sia kamu memberikan sesuatu yang sangat berharga untuk orang yang nggak pernah sekalipun menghargaimu?
 Sebaiknya sejak dini kamu sadari bahwa arah jarum jam tidak pernah melaju ke belakang dan berhenti berotasi untuk hari yang tak bisa diduplikasi. Tentu sudah seharusnya kamu menyayangi dirimu sendiri…, dengan segera berhenti. Berhenti dan pergi untuk menemukan seseorang yang lebih pantas kamu perjuangkan.
 Dan, waktu yang tepat untuk pergi adalah… ketika yang kamu dapatkan hanya pengabaian dan ketika mencintai seseorang membuatmu menjadi orang lain, bukan dirimu sendiri.
           
Diam, embuskan napas, lalu berpikirlah. Kamu akan tahu kapan waktu yang tepat untuk pergi. Mantapkan langkah kaki agar kamu tidak berjalan mundur. Percayalah, kamu pantas mencintai dan dicintai orang yang lebih baik, dan semua hanya masalah waktu sampai kamu bertemu dengan orang itu.
Seseorang yang membuatmu merasa pulang ke rumah, saling melengkapi, dan membuat kamu berkata “Cukup, aku berhenti di kamu.”
Bagian tersulit dalam mencintai adalah ketika tidak dicintai.
Berhentilah menjadi naif, cintamu itu pamrih. Ya, cinta kita semua pamrih.

Kamis, 25 Desember 2014

Ada Saatnya Kita Lelah dengan Semua



Nggak adil rasanya bila kita memaksakan diri untuk selalu berjuang meraih apa yang diinginkan. Terus mencari jawaban tentang pertanyaan atas rasa penasaran yang nggak berhenti berputar di kepala, membuat rotasi hidup berhenti pada satu titik.
 Sayang, kita tidak lagi seorang anak kecil yang bisa mendapatkan keinginannya hanya dengan merengek dan menangis. Tidak. Kita butuh proses perjuangan hebat nan keras untuk mendapatkannya. Dan kadang itu membuat kita lupa bahwa tubuh mempunyai batas untuk berhenti sejenak dan beristirahat, lalu berpikir.
 Wahai kamu yang terlampau sering menghiraukan tanda-tanda tubuh yang ingin menyerah, apakah kamu tau kulit yang deras berkeringat ingin dikeringkan? Apa kamu tau luka yang terlahir ingin disembuhkan? Apakah kamu tau kepalamu ingin meledak karena diforsir untuk fokus pada target? Apakah kamu tau kedua langkah kakimu ingin tumbang karena terus menerus dipaksa melangkah?
 Kita tahu, hanya saja kadang kita menyangkalnya. Sebab, ada saatnya kita lelah dengan semua...

http://www.nyunyu.com/medias/2014/11/48/images/1.gif

Lelah Dengan Kesendirian
Ketika sendiri tanpa ada satu orang pun yang menemani dan memahami, siapa lagi yang kamu rasakan kehadirannya selain kesepian?
 Konon, kesepian itu sahabat sejati yang takkan pernah meninggalkan kita, karena ia selalu menemani kesendirian, di mana pun dan kapan pun. Namun kesepian juga serupa racun yang membuat hatimu mati rasa. Membuat hatimu nggak bisa merasakan cinta, karena terlalu lama menikmati kesendirian.
Ada waktunya kamu lelah dengan sendiri, bosan ditemani kesepian yang akhirnya kamu sadar mencelakakan hati, dan yang terparah adalah: membodohi dirimu sendiri dengan pertanyaan.
 “Kalau berdua, yakin bisa bertahan selamanya?”
 “Emangnya dalam keramaian sekali pun, ada orang yang bisa memahamimu?”
 Atau…
 “Buat apa jatuh cinta? Kalau ujung-ujungnya yang kamu dapatkan lagi-lagi luka.”

http://www.nyunyu.com/medias/2014/11/48/images/2%282%29.jpg

Kesepian itu menguras tenaga dalam tiap detik yang berjalan, menghalang-halangi pintu bahagia. Dan, pada waktunya datanglah saatnya kita lelah, ingin ada yang melarang, ingin memiliki teman berbagi, ingin memiliki seseorang yang bisa memahami dan mencintai.
 Terluka oleh seseorang lebih ada artinya dibanding dilukai kesepian dan kesendirian.
 Lelah Dengan Orang yang Datang dan Pergi
Kebersamaan adalah sesuatu yang mewah, yang tercipta dari perkumpulan orang-orang yang belajar saling menerima dan memahami. Itulah sebabnya kebersamaan itu tidak dapat terbeli. Sayangnya, dalam hidup, kita nggak bisa menghindari fase ‘datang dan pergi’ orang-orang yang kita kenal. Saking seringnya, itu membuat kita lelah.
Lelah dengan perkenalan, lelah dengan proses adaptasi, lelah dengan kata selamat tinggal, lelah dengan kegagalan, dan lelah menikmati kehilangan.
 Seperti berada di sebuah halte. Kamu akan menyaksikan orang yang datang untuk menunggu bus yang mengantarkan ke tujuannya, dan kepergian orang itu karena telah dijemput bus yang ditunggunya. Dan itulah hidup. Datang dan pergi. Hanya sedikit yang menetap.

http://www.nyunyu.com/medias/2014/11/48/images/3%282%29.jpg
Oleh karena itu, jagalah orang yang menetap di kehidupanmu. Mereka yang tahan dengan sikapmu. Mereka yang memaafkan kesalahanmu. Mereka yang mengubahmu menjadi lebih baik. Dan mereka yang ingin selalu bersamamu.
 Ada yang datang dalam hidup untuk mengajarimu sesuatu, kemudian pergi ketika kamu telah memahami apa yang telah diajarkan.
 Sayangnya, kamu baru sadar akan pelajaran itu setelah ia pergi.
 Lelah Dengan Pengkhianatan
Bukan alasan yang tepat memang bila ada seseorang yang enggan mempunyai hubungan hanya karena lelah dengan pengkhianatan. Tetapi, lagipula siapa yang berani merasakan rasanya dikhianati?  Bahkan, orang paling berani sekali pun takut dan nggak mau dikhianati, terlebih oleh orang yang disayanginya.
 Pengkhianatan adalah salah satu ketakutan terbesar manusia, di mana kepercayaan dan kesetiaan dihancurleburkan dalam satu waktu, menimbulkan trauma dalam mendeklarasikan kehilangan.
http://www.nyunyu.com/medias/2014/11/48/images/4.gif
 Itulah kenapa hanya orang tolol yang mengkhianati kesetiaan. Karena kesetiaan itu hanya terlahir dari sifat dewasa yang memiliki kesabaran yang besar, dan nggak semua orang memilikinya.
 Lelah Dengan Penolakan
Lelah dengan penolakan, kepedihan yang dirasakan oleh orang yang berkali-kali gagal dalam usaha diterima. Memang, semua yang diberikan nggak selalu diterima, contohnya: cinta.
 Cinta tentu butuh pengorbanan. Dan dari pengorbanan itu nggak sedikit membuat kita memberi banyak hal. Namun, ketika cinta itu diutarakan, hasil yang didapatkan adalah penolakan. Penolakan yang berujung pada rasa kecewa yang membinasakan rasa percaya diri untuk jatuh cinta lagi.
 Dari penolakan yang terjadi berkali-kali dan kekecewaan yang sering dirasakan, nggak jarang membuat orang yang mengalaminya merasa lelah dan kapok. Kapok untuk mencoba lagi karena takut usahanya berakhir dengan hasil yang sama. Ditolak.
 Lelah Dengan Pengabaian
Jika ada pertanyaan apa rasa yang sakitnya lebih dari sekarat, jawabannya adalah diabaikan.
 Diabaikan itu rasanya sakit luar biasa. Mengapa? Pengabaian sama halnya dianggap nggak ada. Bayangkan aja jika kamu berada di hadapan orang yang kamu cintai, tapi dia nggak menganggap keberadaanmu. Sama sekali. Nggak sedikit pun menoleh ke arahmu, menjawab sapaanmu, bahkan deru napasnya memberikan isyarat keras agar kamu pergi dan nggak usah kembali.
 Penolakan terpahit adalah dianggap tidak ada.
Wajar jika ada orang yang lelah dengan pengabaian, enggan merasakan kondisi dianggap gak ada untuk kesekian kalinya.
 Intinya, kita harus menghargai dan menyayangi diri sendiri untuk nggak memaksakan diri ketika sudah sangat lelah. Karena ketika terlalu memaksakan diri, apalagi yang didapatkan selain perih? Kegagalan memang mengajari untuk mencoba lagi, tetapi ketika sudah terlalu lelah, apakah itu bukan malah mencoba bunuh diri?

http://www.nyunyu.com/medias/2014/11/48/images/5.gif
 Istirahatkanlah dirimu sejenak, atur ulang langkah dan semua rencana terbaik. Mungkin apa yang kamu perjuangkan bukanlah yang akan kamu dapatkan, tetapi memberikan pelajaran dan menempa dirimu menjadi lebih tabah dari sebelumnya.
 Jadi, bagian mana yang membuatmu benar-benar lelah dan akhirnya terpikir untuk berhenti?